Pages

Wednesday, October 10, 2018

Legenda Pulau Kemaro, Tempat yang Dianggap 'Sangat Keramat Sekali'

Liputan6.com, Palembang - Alkisah sepasang kekasih terjun ke Sungai Musi secara bergantian. Tak lagi naik ke permukaan, yang muncul justru tanah sekawasan. Daratan di tengah sungai ini yang sekarang dikenal sebagai Pulau Kemaro atau Pulau Kemarau. Dari informasi resmi yang terpahat pada sebuah batu di sana, Pulau Kemaro disebut sebagai tempat yang 'sangat keramat sekali'.

Saya membaca sekilas kisah asal usul Pulau Kemaro itu pada Minggu yang lengas, 7 Oktober 2018, di dalam perahu ketek yang menyusuri Sungai Musi menuju pulau. Tak hanya kami yang hendak ke pulau, tetapi juga para pelancong lain. Panas terik rupanya tak menggoyahkan niat orang-orang berkunjung ke Pulau Kemaro.

Pulau Kemaro menjadi salah satu destinasi wajib di Palembang, Sumatera Selatan. Dengan bangunan kelenteng dan pagoda tinggi, daerah ini juga jadi tempat peribadatan etnis Tionghoa.

Kunjungan paling ramai saat perayaan Cap Go Meh. Tak hanya etnis Tionghoa dari Indonesia yang berdatangan, tetapi juga dari Tiongkok, Malaysia, dan Singapura.

Pulau Kemaro adalah sebuah delta atau daratan yang membentuk pulau di tengah Sungai Musi. Nama Kemaro berarti pulau yang tak pernah tergenang air. Luasnya sekitar 32 hektare, lokasinya sekitar 6 kilometer dari Jembatan Ampera dan sekitar 40 kilometer dari Kota Palembang.

Ada pagoda berlantai 9 yang menjulang di tengah-tengah pulau. Bangunan ini dibangun pada 2006. Selain pagoda, ada kelenteng yang sudah dulu ada. Klenteng Hok Tjing Rio atau lebih dikenal Klenteng Kuan Im dibangun pada 1962.

Di depan kelenteng terdapat makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang berdampingan. Dua sosok itu yang jadi tokoh utama legenda Pulau Kemaro.

Legenda setempat itu tertulis di sebuah batu di samping Klenteng Hok Tjing Rio. Syahdan, pada zaman dahulu datang seorang pangeran dari Negeri Tiongkok bernama Tan Bun An, hendak berdagang di Palembang.

Ketika meminta izin ke Raja Palembang, ia bertemu dengan putri raja yang bernama Siti Fatimah. Ia langsung jatuh hati, begitu juga dengan Siti Fatimah. Mereka menjalin kasih dan berniat untuk ke pelaminan. Tan Bun An mengajak Siti Fatimah ke daratan Tiongkok untuk bertemu orangtua Tan Bun Han.

Setelah beberapa waktu, mereka kembali ke Palembang. Bersama mereka disertakan pula tujuh guci yang berisi emas. Sampai di muara Sungai Musi, Tan Bun An ingin melihat hadiah emas di dalam guci-guci tersebut. Namun, alangkah kagetnya karena yang dilihat adalah sayuran sawi-sawi asin.

Tanpa berpikir panjang ia membuang guci-guci tersebut ke laut, tetapi guci terakhir terjatuh di atas dek dan pecah. Ternyata di dalamnya terdapat emas. Rupanya sayuran sawi-sawi asin itu untuk menutupi emas guna mengecoh para perompak.

Tan Bun An terjun ke sungai untuk mengambil guci yang sudah dibuangnya. Seorang pengawalnya juga ikut terjun untuk membantu. Tak kunjung muncul, Siti Fatimah menyusul dan terjun juga ke Sungai Musi, sambil berucap jika ada tanah tumbuh di tepi sungai itu maka di situlah kuburannya. Di Pulau Kemaro mereka bersemayam. 

Let's block ads! (Why?)


October 11, 2018 at 03:00AM
via Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2OgDmFv
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Frss&max=3, then Send me an email


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT

No comments:

Post a Comment