Pages

Friday, October 19, 2018

Strategi Jokowi Utak Atik Harga BBM

Jakarta, CNN Indonesia -- Berjalan kembali ke masa lalu, tepatnya pasca pelantikan Presiden 2014, Joko Widodo membuat gebrakan dengan mengumumkan kebijakan perdana yang tak populis.

Presiden ke-7 RI itu mengalihkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) ke anggaran infrastruktrur, sehingga harga BBM bersubsidi naik. Racikan strategi BBM itu sebenarnya sudah disuarakan ketika masa kampanye Pemilihan Presiden. Siapa sangka, kebijakan tak populis itu justru bisa memenangkan hati rakyat.

Selang sebulan berkantor di Istana Negara pada November 2014, Jokowi langsung mematangkan janji kampanyenya dengan mengubah skema subsidi menjadi penugasan ke Pertamina dan turut mengerek harga BBM.

Kala itu, harga Premium naik menjadi Rp 8.500 per liter dari semula Rp 6.500 per liter. Sedangkan, harga Solar melonjak menjadi Rp 7.500 per liter dari Rp 5.500 per liter.


Namun, tak lama tahun berganti, Jokowi menurunkan harga BBM. Alasannya, mengikuti perkembangan harga minyak mentah dunia dan kebijakan subsidi tetap yang diterapkannya. "Harga BBM turun mengikuti harga pasar dunia," katanya saat itu.

Namun, lagi-lagi baru dua bulan berselang, Jokowi kembali mengerek harga BBM pada Maret 2015. Saat itu, Premium naik dari Rp6.600 menjadi Rp6.800 per liter dan kemudian naik lagi menjadi Rp7.400 per liter. Sedangkan Solar dari Rp6.400 menjadi Rp6.900 per liter.


Tak hanya BBM subsidi, pemerintah juga mengerek harga BBM nonsubsidi pada 2015. Pertalite dan Dexalite masing-masing naik Rp1.000 per liter. Pada 2016, kini giliran harga Pertamax yang naik dari Rp8.600 menjadi Rp8.900 per liter. Lalu, Pertamax Turbo naik dari Rp9.600 menjadi Rp10.100 liter dan Dexalite dari Rp9.250 menjadi Rp10 ribu per liter.

Namun, pada April 2016, harga Premium dan Solar kembali diturunkan, masing-masing turun Rp450 dan Rp550 per liter. Lalu, pada Oktober 2016, harga Premium kembali turun Rp450 per liter, sedangkan harga Solar naik Rp600 per liter. Kemudian, pada November 2016, giliran harga Pertamax dan Pertamax Plus yang naik sekitar Rp250 per liter.

Memasuki awal 2017, Jokowi kembali mengerek harga Pertalite, Pertamax, dan Dexalite, masing-masing Rp300 per liter. Meski Jokowi tak mengerek harga di pertengahan tahun, namun pada akhir 2017, ia kembali mengerek harga Pertamax sekitar Rp300 per liter.

Pada awal 2018, Jokowi sempat menaikkan harga Pertamax sebesar Rp200 per liter menjadi Rp8.600 per liter, dan Pertamax Turbo naik Rp250 per liter menjadi Rp9.600 per liter. Lalu, sekitar Februari 2018, harga Pertamax dan Pertamax Turbo kembali naik, masing-masing Rp300 dan Rp500 per liter.

Strategi Jokowi Utak Atik Harga BBMIlustrasi bensin. (Foto: REUTERS/Beawiharta)

Usai Lebaran, harga Dexalite naik Rp900 per liter, Pertamax naik Rp600 per liter, Pertamina Dex Rp400 per liter, dan Pertamax Turba Rp500 per liter. Teranyar, harga Pertamax naik Rp900 per liter menjadi Rp10.400 per liter pada 10 Oktober 2018 lalu.


Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah Redjalam menilai langkah Jokowi sudah cukup tepat, karena kebijakan dilakukan ketika harga minyak mentah dunia berada di level rendah. Jadi, tidak sekedar menetralkan anggaran negara, tetapi juga menciptakan amunisi tambahan untuk mendanai program lain sesuai janjinya.

"Dengan kenaikan itu, pemerintah Jokowi mendapat kesempatan membangun infrastruktur secara masif. Tanpa kenaikan harga BBM, pembangunan infrastruktur tidak mungkin dilakukan," ucapnya.

Menurut dia, sosialisasi yang dilakukan pemerintah dianggapnya berhasil membuat masyarakat sadar untuk ikut menanggung beban harga BBM. Perlahan, hal ini membuat budaya konsumsi baru bagi masyarakat untuk tidak bergantung pada BBM subsidi, terutama masyarakat kelas menengah.

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai kebijakan Jokowi di era awal cukup jitu. Setidaknya, perubahan skema dari subsidi ke penugasan membuat pemerintah berhasil mengendalikan harga BBM, bahkan stabil dalam beberapa tahun ke terakhir.


"Kira-kira beban subsidi BBM di APBN 2014-2017 turun 58 persen, sehingga pemerintah bisa mengalihkan anggaran untuk subsidi BBM ke belanja lain yang lebih produktif," terangnya.

Meski jitu, namun kebijakan BBM Jokowi di masa lalu dianggap masih bercelah. Perubahan skema kebijakan BBM dianggap semu, karena pemerintah hanya mengalihkan beban subsidi dari APBN ke BUMN, yaitu PT Pertamina (Persero) sebagai penerima tugas. Jadi, subsidi tidak serta merta hilang. Hal ini memberi tekanan ke keuangan Pertamina, meski perusahaan pelat merah itu masih bisa mencetak untung.

Persoalan keuangan sangat berpengaruh pada proses bisnis Pertamina. Menurut hitung-hitungannya, Pertamina memiliki potensi kehilangan untung sekitar Rp23 triliun. Padahal, dana itu seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan pembangunan kilang dan mencari sumber minyak baru atau eksplorasi.

"Lifting minyak konsekuensinya turun, penyaluran Premium naik, belum lagi ketika Pertamina harus menerapkan harga BBM satu harga," katanya.

Strategi Jokowi Utak Atik Harga BBMIlustrasi kilang minyak. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf).

BBM Subsidi Langka

Selain persoalan harga, masalah kelangkaan peredaran BBM tak luput dikeluhkan masyarakat di era kepemimpinan Jokowi yang sudah berusia empat tahun. Hal ini pun pernah diakui langsung oleh Wakil Menteri ESDM Archandra Tahar.

"Kami mencermati ada kelangkaan, ada kekurangan pasokan oleh Pertamina dan itu dicermati oleh BPH Migas, datanya valid," ungkapnya.

Anggota Komite BPH Migas Hendri Achmad mengatakan kelangkaan BBM diduga terjadi karena dua hal. Pertama, ada beberapa daerah yang khawatir pasokan BBM tidak cukup sampai akhir tahun, sehingga mulai dikurangi secara bertahap sejak jauh-jauh hari.

"Kedua, (dikurangi) dari SPBU sendiri karena margin Premium lebih kecil dari Pertalite atau Pertamax," terangnya.

Meski begitu, pemerintah tak ingin ambil pusing, dan hanya mengeluarkan jurus imbauan kepada Pertamina agar bisa memastikan dan menjaga pasokan BBM untuk masyarakat.

Belakangan, Menteri BUMN Rini Soemarno meminta Pertamina bisa meningkatkan penggunaan digitalisasi dalam pengelolaan dan distribusi BBM ke seluruh titik di Tanah Air. Tujuannya, agar didapatkan data real time terhadap kebutuhan dan jumlah pasokan yang ada.

"Sering kami dihadapi situasi kelangkaan BBM, karena cara simpan stok tidak tepat, karena dapat data yang tidak akurat. Makanya perlu secepatnya intergrasikan SPBU Pertamina dengan sistem digitalisasi," pungkasnya.

Strategi Jokowi Utak Atik Harga BBM(CNN Indonesia/Timothy Loen)

Berakhir Tanpa Tepuk Tangan

Oktober 2018, hanya dalam hitungan jam, pemerintah mencabut kembali kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium menjadi Rp7.000 per liter, yang sudah terlanjur diumumkan ke masyarakat. Padahal, pengumuman itu dirilis di Nusa Dua, Bali, di tengah perhelatan acara internasional sekelas pertemuan tahunan IMF-World Bank.

Kala itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengungkapkan pemerintah akhirnya perlu mengerek harga Premium, menyusul kenaikan harga Pertamax karena harga minyak mentah dunia terus melejit.

Saat pengumuman, setidaknya harga minyak mentah Brent berada di kisaran US$81 per barel. Sedangkan harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Oil Price/ICP) sekitar US$74 per barel. Selain itu, menurutnya, pemerintah bisa turut mengerek harga Premium karena bukan jenis BBM yang disubsidi.

"Premium itu tidak disubsidi. Kalau tidak disubsidi ya harganya harus disesuaikan. Ini ICP naiknya sekitar 25 persen. Jadi saya mohon ada pengertian dari masyarakat," ucapnya, pekan lalu.

Namun, keputusan itu langsung diklarifikasi oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Belakangan, Menteri BUMN Rini Soemarno mengaku tak tahu rencana kenaikan karena masalah jaringan komunikasi lantaran tengah berada di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah.

Padahal, menurutnya, kesepakatan terakhir hanyalah mengerek harga Pertamax. Selain itu ada dua alasan lain yang menjadi pertimbangannya. Pertama, daya beli masyarakat dan dampaknya ke inflasi.

Kedua, kondisi keuangan PT Pertamina (Persero) yang masih cukup kuat, meski harga Premium tidak dikerek. Toh, Pertamina, menurutnya masih bisa mencetak untung.

"Dari awal memang kami hanya menekankan Pertamax. Saya selalu mengkaji kesehatan (keuangan) Pertamina karena, biar bagaimana, banyak sekali proyek-proyek yang harus dikerjakan," ujarmya.


Bhima menilai penundaan harga Premium ibarat titik akhir dari dilema Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mengurus BBM. Hal ini membuat pemerintah terpaksa menciptakan 'drama' untuk mengetes reaksi pasar terhadap kebijakan yang akan diambil.

"Ini buat cek respons voter, tapi yang dikorbankan Pak Jonan. Kasihan juga," katanya kepada CNNIndonesia.com.

Strategi Jokowi Utak Atik Harga BBMMenteri ESDM Ignatius Jonan mengumumkan kenaikan harga premium namun akhirnya dibatalkan. (Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)

Dilema Jokowi, memang tidak bisa terelakkan. Sebab, mantan Walikota Solo itu memang mau tidak mau harus mencari jalan keluar dari berbagai tekanan. Dari sisi pasar, harga minyak mentah dunia terus meroket. Ditambah lagi, nilai tukar rupiah juga terus melejit, hingga kisaran Rp15 ribu per dolar AS.

Bila penyesuaian harga tidak dilakukan, kombinasi keduanya bisa membuat beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat. Sebab, APBN dipersiapkan pemerintah dengan asumsi ICP hanya US$48 per barel dan kurs rupiah Rp13.400 per dolar AS.

Di sisi lain, tahun politik juga terlanjur dimulai. Langkah mengerek harga BBM jelang Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) tak pernah dianggap populis, apalagi Jokowi masih harus memperebutkan suara rakyat agar bisa membuatnya memimpin satu periode lagi.


Kendati begitu, Bhima menilai Jokowi sejatinya tetap harus tegas mengerek harga BBM karena bila terus dibiarkan bisa memberatkan beban APBN. Sebab, sampai 30 September 2018 saja, realisasi anggaran subsidi BBM dan elpiji sudah mencapai Rp54,3 triliun, atau lebih 15,9 persen dari alokasi yang disiapkan sebesar Rp46,9 triliun.

Hanya saja, mengingat kenaikan harga BBM memberi dilema tahun politik, maka menurut Bhima, sebaiknya Jokowi menaikkan harga BBM secara berkala. Tujuannya, agar beban APBN sedikit berkurang, tapi tidak secara langsung menghantam daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.

"Rasanya bisa naik Rp200 per liter secara bertahap mulai akhir tahun ini, daripada ditahan sampai Pilpres selesai pada April 2019, naiknya akan sangat tinggi dan itu berbahaya," ungkapnya.

Berbanding terbalik, Piter Abdullah justru menilai langkah Jokowi untuk membatalkan kenaikan harga Premium pekan lalu sudah tepat. Menurut dia, kenaikan harga BBM justru bisa memberi dampak negatif terhadap ekonomi secara keseluruhan.

Meski begitu, keduanya sepakat bila Jokowi seharusnya bisa meracik kebijakan lebih matang di tahun akhir seperti ia mengutak-atik strategi dan kebijakan BBM di awal kepemimpinannya.  (lav)

Let's block ads! (Why?)


October 19, 2018 at 05:06PM
via CNN Indonesia https://ift.tt/2P7FT4t
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT

No comments:

Post a Comment