Pages

Friday, October 19, 2018

'Janji Surga' Menkoninfo di Era Jokowi

Jakarta, CNN Indonesia -- "Yang paling penting adalah efisiensi dan bagaimana membuat industri telekomunikasi sehat."

Penggalan kalimat tersebut merupakan kutipan yang diucapkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Kalimat tersebut menjadi kutipan yang paling saya ingat ketika meliput isu telekomunikasi dalam 3,5 tahun terakhir.

Mayoritas kebijakan yang disiapkan memang mengarah pada efisiensi industri.

Saya ingat betul alasan mengapa pentingnya efisiensi industri yang terus menerus digaungkan. Beberapa tahun lalu, Rudiantara mengatakan dengan industri telekomunikasi yang sehat maka bisa memberikan layanan yang bagus untuk masyarakat.


Sebagai pelanggan layanan telekomunikasi, rasanya saya lebih banyak mengeluh dibandingkan menikmati. Artinya, efisiensi industri yang digaungkan tersebut hingga saat ini belum terwujud.

Saya mengumpulkan beberapa regulasi yang sempat 'panas' dibahas dengan akhir yang nahas.

Mari memulainya dari regulasi interkoneksi.

Rudiantara menggaungkan efisiensi industri. (Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Pertengahan 2015, Rudiantara mengemukakan rencana perhitungan ulang tarif interkoneksi. Tujuan perhitungan ulang ini karena perhitungan tarif interkoneksi dilakukan 2005.

Dalam kurun waktu satu dekade tersebut, kondisi telah banyak berubah dan dibutuhkan regulasi yang dapat merefleksikan kondisi saat ini hingga jangka waktu ke depannya.

"Tarif interkoneksi akan selesai tahun ini sehingga bisa diberlakukan pada awal tahun 2016," ujar Rudiantara pada Juni 2015.

Tujuan aturan itu adalah agar konsumen menikmati tarif lebih murah.


Faktanya, tarif interkoneksi rampung pada 2 Agustus 2016. Tarif tersebut diputuskan turun 26 persen dan mulai berlaku pada tanggal 1 September 2016 sampai dengan Desember 2018.

Namun, hingga saat ini tak ada kejelasan dari implementasi interkoneksi tersebut. Lika-liku interkoneksi saat itu cukup panjang karena operator seluler terbagi dua kubu, setuju dan tidak setuju.

Bahkan, regulator melakukan perhitungan kembali di saat sudah mengeluarkan tarif baru.

Masalah industri tak berhenti hanya di interkoneksi.

Infrastruktur Bersama

Regulasi infrastructure sharing  pun mengalami pembahasan yang lama dan tak kunjung selesai. Pembahasan sudah ramai sedari awal 2015 namun hingga saat ini tak kunjung mendapat titik terang.

Kabarnya, regulasi tersebut sudah rampung. Namun, masih harus mendapatkan persetujuan dari berbagai pihak.

Rencananya dengan regulasi itu, para operator bisa saling berbagi infrastruktur aktif dan pasif. Saat ini, memang untuk berbagi infrastruktur pasif seperti menara sudah diizinkan oleh regulator.

Namun, lebih dari itu seperti berbagi frekuensi bisa mengakibatkan bui.


Jika dijabarkan lebih lanjut masih banyak janji 'surga' Rudiantara yang tak kunjung terwujud. Rencana regulasi konsolidasi, regulasi untuk perusahaan rintisan, hingga regulasi Over-the-Top (OTT).

Bahkan, program 1.000 startup untuk mendorong digital ekonomi di Indonesia agar mencapai valuasi US$130 miliar pada 2020 pun masih mengundang banyak pertanyaan.

Misalnya, apa kriteria startup yang dihitung? Saat ini sudah ada berapa banyak? Bagaimana cara menghitung valuasi perusahaan rintisan hingga target US$130 miliar bisa tercapai?

Dan banyak pertanyaan yang tak pernah saya dapatkan jawabannya.

Ilustrasi. (Foto: AFP PHOTO / MOHAMMED ABED)

Jika kita berkaca pada dua regulasi pertama yang sempat dibahas. Benang merah keduanya adalah ketidaktegasan pemerintah untuk mengambil sikap.

Saya kira, Rudiantara memiliki kecenderungan untuk membuat semua pihak dapat diuntungkan. Sayangnya, hal tersebut sulit diwujudkan dan regulasi yang akhirnya dikorbankan.

Di sisi lain, selain deretan komitmen lainnya yang disampaikan, saya melihat ada beberapa program walau berliku tetap terwujud.

Salah satunya adalah proyek pembangunan kabel optik Palapa Ring. Setelah terbengkalai dari pemerintahan sebelumnya, Rudiantara berhasil menggelar kabel optik dari Sabang hingga Merauke.

Saat ini, paket barat dan tengah, sudah rampung dan paket timur ditargetkan rampung akhir tahun ini. Seluruh paket diharapkan dapat beroperasi 2019.

Saya tak segan acungkan dua jempol untuk Rudiantara untuk urusan ini.

Beranjak pencapaian berikutnya yakni implementasi 4G. Rudiantara dinilai berhasil menghantarkan Indonesia ke gerbang era internet baru yakni 4G Long Term Evolution (LTE).

Walau kecepatan yang didapatkan di Indonesia masih jauh di bawah rata-rata. Hasil riset Open Signal pada semester pertama 2018 ini, operator tercepat di Indonesia saja hanya memiliki kecepatan unduh 12,9 Mbps dan ungguh 7,3 Mbps.

Dalam skema global, semua operator Indonesia masih jauh di bawah rata-rata pengunduhan 4G global yaitu 16,9 Mbps. Rata-rata kecepatan pengunduhan di Indonesia sekitar 8,92 Mbps.

Tapi setidaknya Indonesia telah berusaha hingga bisa mencicipi 4G dan saat ini setiap operator masih tetap membangun. 

Di sisi lain, saya kira, menteri tersebut masih memiliki satu tahun terakhir dengan deretan pekerjaan yang belum tuntas. Dari soal regulasi hingga eksekusi di lapangan.

Waktu jua yang bakal menunjukkan, apakah ada wujud kerja nyata atau janji surga semata. (asa/asa)

LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS

Let's block ads! (Why?)


October 19, 2018 at 09:37PM
via CNN Indonesia https://ift.tt/2PIzYQv
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT

No comments:

Post a Comment