Pages

Wednesday, October 10, 2018

Menyingkap Fenomena 'Aceh Gila' Saat Zaman Kolonial Belanda

Perlu dicatat kejadian yang menimpa Kapten Schmid di atas hanyalah salah satu dari banyak kisah serupa yang terjadi di Aceh pada masa kolonial.

Saat itu, upaya pembunuhan terhadap opsir dan perwira Belanda sering terjadi. Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan secara sporadis, perseorangan, dan tanpa disangka-sangka.

Kejadiannya bisa terjadi di mana saja. Di jalan, di pasar, di keramaian, bahkan di tangsi-tangsi militer milik Belanda. Para pelakunya orang Aceh. Mereka tidak memandang umur atau jenis kelamin korbannya. Siapa pun yang berkulit putih, Hamok! (hajar!).

Bagi pihak Belanda, fenomena ini menjadi suatu hal yang tidak biasa. Mereka menyebutnya Atjeh Moorden atau 'pembunuhan Aceh'. Selanjutnya lebih dikenal sebagai Aceh Pungo (Bahasa Aceh), atau Aceh Gila.

Penyematan kata 'gila' merujuk pada anggapan awal pihak Belanda mengenai sikap orang Aceh yang bisa tiba-tiba menghunus rencongnya dan menyasar orang Belanda. Oleh orang Belanda, ini dianggap sebagai gejala psikologis.

Perbuatan nekat itu dianggap tidak mungkin dilakukan oleh orang waras. Maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh Pungo.

Fenomena Aceh Pungo ini dapat kita baca dalam beberapa literasi yang ditulis oleh orang Belanda sendiri. Misalnya di dalam The Dutch Colonial War in Aceh, dan Prominet Women In The Glimpse of History.

Selain itu, dapat juga dilihat dalam The Old World Though Old Eye: Three Years in Oriental Land. Buku ini ditulis Mary Smith Ware turis asal Amerika yang pernah ke Aceh pada masa kolonial Belanda. Konon, sang penulis juga menjadi salah satu korban Aceh Pungo.

Selain kisah Kapten Schmid, ada kisah seorang perempuan Aceh di Pidie, bernama Pocut Meurah Intan alias Pocut Di Biheue. Dia nekat menyerang 18 tentara marsose yang sedang patroli sendirian.

Selanjutnya, ada kisah seorang Uleebalang di Desa Titeue, Pidie yang menikam Letnan Kolonel Scheepens seorang perwira Belanda di Sigli pada 10 Oktober 1913.

Scheepens diserang saat yang bersangkutan sedang memimpin rapat atau sidang untuk menyelesaikan suatu sengketa yang dialami oleh penduduk setempat.

Terdapat pula kisah Teuku Ubit. Seorang santri berusia 16 tahun yang membunuh seorang pejabat controleur Belanda bernama Tiggelman di Seulimeum, Aceh Besar pada 23 Februari 1942.

Tiggelman dibacok dengan kelewang, sejenis pedang panjang khas Aceh, hingga mati bersimbah darah di rumah dinasnya sendiri.

Tiga bulan setelah pembunuhan yang menimpa Kapten Schmid, dua orang anak-anak keturunan Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (Banda Aceh) juga menjadi korban Aceh Pungo.

Pada 1910-1920 terdapat sebanyak 79 kasus Aceh Pungo dengan jumlah korban keseluruhan sebanyak 99 orang. Puncaknya antara tahun 1913, 1917, dan 1928 dengan jumlah 10 kasus setiap tahunnya. Sedangkan, pada tahun 1933 dan 1937 masing-masing terjadi 6 dan 5 kasus.

Namun, jumlah korban tersebut cenderung tidak mewakili jumlah keseluruhan korban. Hal ini karena, jumlah itu dihitung sejak tahun 1910 hingga 1937 saja. Sedangkan pada tahun sebelum dan sesudahnya tidak tercatat sama sekali.

Let's block ads! (Why?)


October 11, 2018 at 06:32AM
via Berita Hari Ini, Kabar Harian Terbaru Terkini Indonesia - Liputan6.com https://ift.tt/2Czi8fO
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.liputan6.com%2Frss&max=3, then Send me an email


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT

No comments:

Post a Comment